Tiga dasawarsa yang lalu, anak-anak pengguna seragam sekolah selalu identik dengan kaum terpelajar karena keluhuran ilmu dan ketinggian akhlak. Makanya sangatlah wajar jika masyarakat selalu menaruh hormat dan harapan yang besar kepada mereka. Namun, kini citra positif itu semakin memudar seiring dengan semakin mencuatnya tindakan kekerasan di kalangan pelajar.
Betapa tidak, hampir setiap hari, selalu saja ada berita tentang kekerasan di kalangan pelajar. Mulai dari tawuran, pencurian, pelecehan seksual, sampai konsumsi narkoba, selalu menghiasi media massa. Bahkan, kekerasan yang dilakukan oleh pelajar putri yang menamakan dirinya sebagai Gank Nero, telah membuka mata semua orang, betapa kekerasan di kalangan pelajar kian hari kian mengkhawatirkan.Istilah kekerasan di kalangan pelajar, sejak tahun 1970 lebih dikenal dengan istilah bullying. Seorang pelajar dikatakan sebagai korban bullying ketika ia diketahui secara berulang-ulang terkena tindakan negatif oleh satu atau lebih banyak pelajar lain. Tindakan negatif tersebut termasuk melukai, atau mencoba melukai atau membuat korban merasa tidak nyaman. Tindakan ini dapat dilakukan secara fisik (pemukulan, tendangan, mendorong, mencekik, dll), secara verbal (memanggil dengan nama buruk, mengancam, mengolok-olok, jahil, menyebarkan isu buruk, dll.) atau tindakan lain seperti memasang muka dan melakukan gerakan tubuh yang melecehkan (secara seksual) atau secara terus menerus mengasingkan korban dari kelompoknya.Sepertinya, setiap pelajar pernah mengalami semua bentuk kekerasan di atas. Ada yang menjadi pelaku, korban atau paling tidak sebagai saksi. Bisa terjadi di sekolah maupun di luar sekolah; di sekolah umum, atau di pesantren. Bahkan, menurut pakar pendidikan, sekolah berasrama lebih rawan dalam hal tindak kekerasan. Kasus kekerasan di STPDN (kini IPDN) beberapa waktu yang lalu, membuktikan hipotesis tersebut.
A. Definisi Bullying
Bullying berasal dari kata Bully, yaitu suatu kata yang mengacu pada pengertian adanya “ancaman” yang dilakukan seseorang terhadap orang lain (yang umumnya lebih lemah atau “rendah” dari pelaku), yang menimbulkan gangguan psikis bagi korbannya (korban disebut bully boy atau bully girl) berupa stress (yang muncul dalam bentuk gangguan fisik atau psikis, atau keduanya; misalnya susah makan, sakit fisik, ketakutan, rendah diri, depresi, cemas, dan lainnya). Apalagi Bully biasanya berlangsung dalam waktu yang lama (tahunan) sehingga sangat mungkin mempengaruhi korban secara psikis. Sebenarnya selain perasaan-perasaan di atas, seorang korban Bully juga merasa marah dan kesal dengan kejadian yang menimpa mereka. Ada juga perasaan marah, malu dan kecewa pada diri sendiri karena “membiarkan” kejadian tersebut mereka alami. Namun mereka tak kuasa “menyelesaikan” hal tersebut, termasuk tidak berani untuk melaporkan pelaku pada orang dewasa karena takut dicap penakut, tukang ngadu, atau bahkan disalahkan. Dengan penekanan bahwa bully dilakukan oleh anak usia sekolah, perlu dicatat bahwa salah satu karakteristik anak usia sekolah adalah adanya egosentrisme (segala sesuatu terpusat pada dirinya) yang masih dominan. Sehingga ketika suatu kejadian menimpa dirinya, anak masih menganggap bahwa semua itu adalah karena dirinya.
Definisi Bullying menurut PeKA (Peduli Karakter Anak) adalah bullying adalah penggunaan agresi dengan tujuan untuk menyakiti orang lain baik secara fisik maupun mental. Bullying dapat berupa tindakan fisik, verbal, emosional dan juga seksual.
Berikut ini adalah contoh tindakan yang termasuk kategory bullying; pelaku baik individual maupun group secara sengaja menyakiti atau mengancam korban dengan cara:
- menyisihkan seseorang dari pergaulan,
- menyebarkan gosip, mebuat julukan yang bersifat ejekan,
- mengerjai seseorang untuk mempermalukannya,
- mengintimidasi atau mengancam korban,
- melukai secara fisik,
- melakukan pemalakan/ pengompasan.
Bullying tidaklah sama dengan occasional conflict atau pertengkaran biasa yang umum terjadi pada anak. Konflik pada anak adalah normal dan membuat anak belajar cara bernegosiasi dan bersepakat satu sama lain. Bullying merujuk pada tindakan yang bertujuan menyakiti dan dilakukan secara berulang. Sang korban biasanya anak yang lebih lemah dibandingkan sang pelaku.
Menurut Dan Olweus, Author of Bullying at School Bullying Bisa dibagi menjadi dua bagian besar yaitu :
1. Direct bullying : intimidasi secara fisik, verbal.
2. Indirect Bullying: isolasi secara sosial.
Bullying itu sangat menyakitkan bagi si korban. Tidak seorangpun pantas menjadi korban bullying. Setiap orang memiliki hak untuk diperlakukan dan dihargai secara pantas dan wajar. Bullying memiliki dampak yang negatif bagi perkembangan karakter anak, baik bagi si korban maupun pelaku.
Berikut ini contoh dampak bullying bagi sang korban :
- Depresi
- Rendahnya kepercayaan diri / minder
- Pemalu dan penyendiri
- Merosotnya prestasi akademik
- Merasa terisolasi dalam pergaulan
- Terpikir atau bahkan mencoba untuk bunuh diri
Di sisi lain, apabila dibiarkan, pelaku bullying akan belajar bahwa tidak ada risiko apapun bagi mereka bila mereka melakukan kekerasan, agresi maupun mengancam anak lain. Ketika dewasa pelaku tersebut memiliki potensi lebih besar untuk menjadi preman ataupun pelaku kriminal dan akan membawa masalah dalam pergaulan sosial.
Tentu kaitan masih ingat kasus yang terjadi pada STPDN /IPDN yang sampai menelan korban jiwa. Dan entah sudah berapa ratus dan mungkin bahkan ribuan dan jutaan orang yang pernah mengecap pendidikan di STPDN/IPDN yang rusak mental dan jiwanya karena telah di Bullying Oleh Seniornya dan pada akhirnya sebagai pembalasan mereka kembali melakukan hal yang sama seperti kakak seniornya, melakukan Bullying. Dan itu akan terus terjadi secara turun temurun dan lembaga pendidikan yang Notabene nya adalah pencetak Pejabat.
Bullying tidak terjadi juga antar pelajar dan senior tapi juga kerap terjadi oleh guru dan Mungkin saja tidak terjadi bunuh diri apabila siswa yg menunggak SPP tidak merasa dipermalukan dan disisihkan di hadapan teman sekolahnya. Baik itu karena berulangkali harus menghadapi pemanggilan kepala sekolah maupun perlakuan yang berbeda dari pihak sekolah terhadapnya. Bisa jadi tidak akan terjadi lagi “mati konyol” akibat proses penerimaan siswa baru, apabila kita tidak menganggap praktek perploncoan sebagai hal yang biasa.
Bentuk Bully terbagi dua, tindakan langsung seperti menyakiti, mengancam, atau menjelekkan anak lain. Sementara bentuk tidak langsung adalah menghasut, mendiamkan, atau mengucilkan anak lain. Apapun bentuk Bully yang dilakukan seorang anak pada anak lain, tujuannya adalah sama, yaitu untuk “menekan” korbannya, dan mendapat kepuasan dari perlakuan tersebut. Pelaku puas melihat ketakutan, kegelisahan, dan bahkan sorot mata permusuhan dari korbannya.
Karakteristik korban Bully adalah mereka yang tidak mampu melawan atau mempertahankan dirinya dari tindakan Bully. Bully biasanya muncul di usia sekolah. Pelaku Bully memiliki karakteristik tertentu. Umumnya mereka adalah anak-anak yang berani, tidak mudah takut, dan memiliki motif dasar tertentu. Motif utama yang biasanya ditenggarai terdapat pada pelaku Bully adalah adanya agresifitas. Padahal, ada motif lain yang juga bisa dimiliki pelaku Bully, yaitu rasa rendah diri dan kecemasan. Bully menjadi bentuk pertahanan diri (defence mechanism) yang digunakan pelaku untuk menutupi perasaan rendah diri dan kecemasannya tersebut. “Keberhasilan” pelaku melakukan tindakan bully bukan tak mungkin berlanjut ke bentuk kekerasan lainnya, bahkan yang lebih dramatis.
Ada yang menarik dari karakteristik pelaku dan korban Bully. Korban Bully mungkin memiliki karakteristik yang bukan pemberani, memiliki rasa cemas, rasa takut, rendah diri, yang kesemuanya itu (masing-masing atau sekaligus) membuat si anak menjadi korban Bully. Akibat mendapat perlakuan ini, korban pun mungkin sekali menyimpan dendam atas perlakuan yang ia alami.
Selanjutnya, bukan tak mungkin, korban Bully, menjadi pelaku Bully pada anak lain yang ia pandang sesuai dengan tujuannya, yaitu untuk mendapat kepuasan dan membalaskan dendam. Ada proses belajar yang sudah ia jalani dan ada dendam yang tak terselesaikan. Kasus di sekolah-sekolah, dimana kakak kelas melakukan Bully pada adik kelas, dan kemudian Bully berlanjut ketika si adik kelas sudah menjadi kakak kelas dan ia kemudian melakukan Bully pada adik kelasnya yang baru, adalah contoh dari pola Bully yang dijelaskan di atas.
Tindakan Bullying bisa terjadi dimana saja, terutama tempat-tempat yang tidak diawasi oleh guru atau orang dewasa lainnya. Pelaku akan memanfaatkan tempat yang sepi untuk menunjukkan “kekuasaannya” atas anak lain, agar tujuannya tercapai. Sekitar toilet sekolah, pekarangan sekolah, tempat menunggu kendaraan umum, lapangan parkir, bahkan mobil jemputan dapat menjadi tempat terjadinya Bullying.
Sebagai orang tua, kita wajib waspada akan adanya perilaku bullying pada anak, baik anak sebagai korban atau sebagai pelaku. Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :
Bagaimana mengenali anak yang diindikasi mengalami tindakan intimidasi di sekolahnya? Sejumlah tips yang dirangkum Kompas.com dari berbagai sumber ini mungkin bisa membantu Anda. Ciri-ciri yang harus diperhatikan di antaranya:
1. Enggan untuk pergi sekolah
2. Sering sakit secara tiba-tiba
3. Mengalami penurunan nilai
4. Barang yang dimiliki hilang atau rusak
5. Mimpi buruk atau bahkan sulit untuk terlelap
6. Rasa amarah dan benci semakin mudah meluap dan meningkat
7. Sulit untuk berteman dengan teman baru
8. Memiliki tanda fisik, seperti memar atau luka
Jika menemukan ciri-ciri seperti di atas, langkah yang harus dilakukan orangtua di antaranya:
1. Berbicara dengan orangtua si anak yang melakukan bully terhadap anak Anda
2. Mengingatkan sekolah tentang masalah seperti ini
3. Datangi konseling profesional untuk ikut membantu mengatasi masalah ini
Jika tindakan kekerasan ini masih terus berlanjut dan tidak ada respons yang baik dari sekolah, pikirkanlah cara lain. Salah satu pilihan, jika memungkinkan, pindahkan sekolah anak Anda. Dalam situasi yang ekstrem, mungkin perlu menghubungi polisi atau meminta perlindungan. Namun, hal yang paling penting adalah mendengarkan komplain anak dan tetaplah membuka komunikasi kepada mereka.
Bullying tidak boleh diabaikan mengingat dampak psikis dan mental terhadap anak sangat besar. Berikut ini beberapa saran untuk mengetahui anak kita menjadi korban bullying atau tidak :
Ketahuilah bahwa seorang anak yang sedang diintimidasi kemungkinan besar akan memberitahu rekan pertama, lalu orang tua, dan kemudian guru. "Selalu tahu siapa teman-teman anak Anda," kata Robin D'Antona, pendiri Asosiasi Internasional Pencegahan Bullying. Dengan menjalin persahabatan dengan teman anak kita, maka banyak "bocoran" yang akan disampaikannya tentang dia.
Tanyakan kepada anak kita secara rutin apakah dia suka sekolah. Jika seorang anak menjawab bahwa ia "membenci" sekolah, tanyakan lebih dalam untuk mengetahui rincian apa yang membuatnya benci sekolah. Apakah ia membenci akademisi? Bisakah dia tidak melihat papan tulis? Gambar dari sumber sikap anak Anda ke sekolah.
Privasi berakhir saat keselamatan anak kita terancam di sekolah. Perhatikan apa yang mereka lakukan di web, dan memeriksa ponselnya. Jika anak menginginkan buku harian, membeli buku dan sarankan menyimpan di tempat yang sekiranya perlu, kita bisa juga mengaksesnya tanpa dia tahu. "Misalnya di bawah kasur," kata D'Antona.
Ciptakan komunikasi yang harmonis dalam keluarga kita. Buatlah anak-anak bebas mengungkapkan kata hatinya dan bisa terbuka untuk berbicara setiap saat. Ada kalanya kita harus kontak mata dengannya saat berbiicara, ada kalanya anak juga lebih nyaman bercerita pada kita tanpa kontak mata. "Perjalanan sambil mengobrol selama kita tengah menyetir, misalnya, membuat anak bebas mengungkapkan apa saja," tambah D'Antona.
Beberapa hal yang dapat dicermati dalam kasus Bullying adalah :
a. Anak menjadi Korban
Tanda-tandanya :
1. Munculnya keluhan atau perubahan perilaku atau emosi anak akibat stres yang ia hadapi karena mengalami perilaku bullying (anak sebagai korban).
2. Laporan dari guru atau teman atau pengasuh anak mengenai tindakan bullying yang terjadi pada anak.
b. Anak sebagai Pelaku
Tanda-tandanya :
1. Anak bersikap agresif, terutama pada mereka yang lebih muda usianya, atau lebih kecil atau mereka yang tidak berdaya (binatang, tanaman, mainan).
2. Anak tidak menampilkan emosi negatifnya pada orang yang lebih tua/ lebih besar badannya/ lebih berkuasa, namun terlihat anak sebenarnya memiliki perasaan tidak senang.
3. Sesekali anak bersikap agresif yang berbeda ketika bersama anda.
4. Melakukan tindakan agresif yang berbeda ketika tidak bersama anda (diketahui dari laporan guru, pengasuh, atau teman-teman).
5. Ada laporan dari guru/ pengasuh/ teman-temannya bahwa anak melakukan tindakan agresif pada mereka yang lebih lemah atau tidak berdaya (no. 1).
6. Anak yang pernah mengalami bully mungkin menjadi pelaku bully.
Salah satu bullying adalah bentuk penindasan. Penindasan sendiri bisa dengan atau tanpa kekerasan. Bullying adalah perilaku yang diulangi dari waktu ke waktu yang secara nyata melibatkan ketidak-seimbangan kekuasaan, yang lebih kuat menyerang kelompok anak-anak atau mereka yang kurang kuat. Bullying dapat berupa pelecehan lisan atau penyerangan fisik, atau cara lain yang lebih halus, seperti paksaan dan manipulasi. Bullying biasanya dilakukan untuk memaksa orang lain dengan rasa takut dan ancaman. Bullying dapat dicegah jika anak-anak diajarkan keterampilan sosial agar mampu berinteraksi dengan orang-orang. Hal ini akan membantu mereka untuk menjadi orang dewasa produktif, ketika berinteraksi dengan orang-orang yang mengganggu. Bullying di sekolah dan tempat kerja juga disebut sebagai penyalahgunaan rekan.
Karakter-karakter tertentu pada anak yang biasanya menjadi korban bullying, misalnya:
• Sulit berteman
• Pemalu
• Memiliki keluarga yang terlalu melindungi
• Dari suku tertentu
• Cacat atau keterbatasan lainnya
• Berkebutuhan khusus
• Sombong, dll.
Anak yang menjadi korban biasanya merasa malu, takut, tidak nyaman. Sehingga untuk membuat ia kembali mampu menjalani kegiatannya sehari-hari seperti biasa, ia harus dibekali dengan “tools” yang membuat ia yakin bahwa ia akan mendapatkan pertolongan. Ia harus tahu dan percaya bahwa guru kelas dan temannya akan membantu, misalnya. Atau ia kemudian mendapatkan teman selama jam istirahat atau kegiatan di luar kelas. Rasa percaya dirinya kembali dipupuk dengan memusatkan perhatian pada hal-hal yang menjadi kelebihan dan potensinya. Yang terakhir ini biasanya berjakan dengan sendirinya jika rasa aman sudah kembali dimiliki.
Bullying terjadi ketika seseorang merasa teraniaya, takut, terintimidasi, oleh tindakan seseorang baik secara verbal, fisik atau mental. Ia takut bila perilaku tersebut akan terjadi lagi, dan ia merasa tak berdaya mencegahnya. (Andrew Mellor, antibullying network, univ. of edinburgh, scotland)
Perilaku bullying di institusi pendidikan bisa terjadi oleh siswa kepada siswa, siswa kepada guru, guru kepada siswa, guru kepada guru, orang tua siswa kepada guru atau sebaliknya, dan antarcivitas akademika di institusi pendidikan/sekolah.
Bullying terjadi apabila memenuhi unsur:
1. Perilaku yang menyebabkan seseorang/ siswa/ guru terhina, terintimidasi, takut, terisolasi
2. Perilaku yang dilakukan berulang-ulang baik verbal, fisik, dan psikis, yang menimbulkan powerless
3. Adanya aktor yang superior dan inferior
4. Perilaku yang dilakukan berdampak negatif.
Bentuk dan Modus Bullying:
1. Fisik (tendangan, pukulan, jambakan, tinju, tamparan, lempar benda, meludahi, mencubit, merusak, membotaki, mengeroyok, menelanjangi, push up berlebihan, menjemur, mencuci WC, lari keliling lapangan yang berlebihan/ tidak mengetahui kondisi siswa, menyundut rokok, dll).
2. Verbal (mencaci maki, mengejek, memberi label/ julukan jelek, mencela, memanggil dengan nama bapaknya, mengumpat, memarahi, meledek, mengancam, dll).
3. Psikis (pelecehan seksual, memfitnah, menyingkirkan, mengucilkan, mendiamkan, mencibir, penghinaan, menyebarkan gosip).
B. Solusi terhadap Kasus Bullying
Pada tahun 2006 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, kasus kekerasan pada anak mencapai Rp 25 juta, dengan berbagai macam bentuk, dari yang ringan sampai yang berat. Lalu, data BPS tahun 2009 menunjukkan kepolisian mencatat, dari seluruh laporan kasus kekerasan, 30 persen di antaranya dilakukan oleh anak-anak, dan dari 30 persen kekerasan yang dilakukan anak-anak, 48 persen terjadi di lingkungan sekolah dengan motif dan kadar yang bervariasi.
Plan Indonesia sendiri pernah melakukan survei tentang perilaku kekerasan di sekolah. Survei dilakukan di Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Bogor, dengan melibatkan 1.500 siswa SMA dan 75 guru. Hasilnya, 67,9 persen menganggap terjadi kekerasan di sekolah, berupa kekerasan verbal, psikologis, dan fisik. Pelaku kekerasan pada umumnya adalah teman, kakak kelas, adik kelas, guru, kepala sekolah, dan preman di sekitar sekolah. Sementara itu, 27,9 persen siswa SMA mengaku ikut melakukan kekerasan, dan 25,4 persen siswa SMA mengambil sikap diam saat melihat terjadi kekerasan.
Oleh karenanya, solusi yang bisa dilakukan untuk mencegah dan menangani kasus Bullying ini, antara lain:
Solusi buat orang tua atau wali orang tua jika anaknya menjadi korban intimidasi (bullying) di sekolah. Beberapa di antaranya:
1. Satukan Persepsi dengan Istri/Suami. Sangat penting bagi suami-istri untuk satu suara dalam menangani permasalahan yang dihadapi anak-anak di sekolah. Karena kalau tidak, anak akan bingung, dan justru akan semakin tertekan. Kesamaan persepsi yang dimaksud meliputi beberapa aspek, misalnya: apakah orang tua perlu ikut campur, apakah perlu datang ke sekolah, apakah perlu menemui orang tua pelaku intimidasi, termasuk apakah perlu lapor ke polisi.
2. Pelajari dan Kenali Karakter Anak Kita. Perlu kita sadari, bahwa satu satu penyebab terjadinya bullying adalah karena ada anak yang memang punya karakter yang mudah dijadikan korban. Saya sudah sampaikan tadi, salah satunya adalah sikap “cepat merasa bersalah”, atau penakut, yang dimiliki anak saya. Dengan mengenali karakter anak kita, kita akan bisa mengantisipasi berbagai potensi intimidasi yang menimpa anak kita, atau setidaknya lebih cepat menemukan solusi (karena kita menjadi lebih siap secara mental). Sekedar ilustrasi, anak saya yang kedua, sampai saat ini (sudah SMA) belum pernah menjadi korban intimidasi seperti yang dialami oleh kakaknya dulu.
3. Jalin Komunikasi dengan Anak. Tujuannya adalah anak akan merasa cukup nyaman (meskipun tentu saja tetap ada rasa tidak nyaman) bercerita kepada kita sebagai orang tuanya ketika mengalami intimidasi di sekolah. Ini menjadi kunci berbagai hal, termasuk untuk memonitor apakah suatu kasus sudah terpecahkan atau belum. Untuk saya sendiri, anak-anak lebih banyak/sering bercerita ke ibunya, meskipun kalau sudah sampai pada tahap pemecahan masalah, saya yang lebih banyak berperan.
4. Jangan Terlalu Cepat Ikut Campur. Idealnya, masalah antar anak-anak bisa diselesaikan sendiri oleh mereka, termasuk di dalamnya kasus-kasus bullying. Oleh karena itu, prioritas pertama memupuk keberanian dan rasa percaya diri pada anak-anak kita (yang menjadi korban intimidasi). Kalau anak kita punya kekurangan tertentu, terutama kekurangan fisik, perlu kita tanamkan sebuah kepercayaan bahwa itu merupakan pemberian Tuhan dan bukan sesuatu yang memalukan. Kedua, jangan terlalu “termakan” oleh ledekan teman, karena hukum di dunia ledek-meledek adalah “semakin kita terpengaruh ledekan teman, semakin senang teman yang meledek itu”.
5. Masuklah di Saat yang Tepat. Jangan lupa, bahwa seringkali anak kita sendiri (yang menjadi korban intimidasi) tidak senang kalau kita (orang tuanya) turut campur. Situasinya menjadi paradoksal: Anak kita menderita karena diintimidasi, tapi dia takut akan lebih menderita lagi kalau orang tuanya turut campur. Karena para pelaku bullying akan mendapat ‘bahan’ tambahan, yaitu mencap korbannya sebagai “anak mami”, cemen, dsb. Oleh karena itu, kita mesti benar-benar mempertimbangkan saat yang tepat ketika memutuskan untuk ikut campur menyelesaikan masalah. Ada beberapa indikator: (1) Kasus tertentu tak kunjung terselesaikan, (2) Kasus yang sama terjadi berulang-ulang, (3) Kalau kasusnya adalah pemerasan, melibatkan uang dalam jumlah cukup besar, (4) Ada indikasi bahwa prestasi belajar anak mulai terganggu.
6. Bicaralah dengan Orang yang Tepat. Jika sudah memutuskan untuk ikut campur dalam menyelesaikan masalah, pertimbangkan masak-masak apakah akan langsung berbicara dengan pelaku intimidasi, orang tuanya, atau gurunya. Seperti yang saya ceritakan di atas, kalau saya lebih suka untuk berbicara langsung dengan anak saya, pelaku intimidasi, dan sekaligus guru/wali kelasnya dalam satu kesempatan di sekolah. Saya cenderung untuk menghindari berbicara dengan orang tua pelaku intimidasi, karena khawatir masalahnya jadi melebar kemana mana dan situasi menjadi sangat emosional.
7. Kalau Perlu, Intimidasilah Pelaku Intimidasi. Menjadi pertanyaan memang, koq melawan intimidasi dengan intimidasi? Idealnya memang jangan melakukan itu, tapi kalau memang diperlukan, saya tak segan melakukannya. Pesan yang ingin saya sampaikan adalah: (1) Untuk anak saya, saya ingin dia tahu bahwa saya ada di sisinya, sehingga dia tidak merasa sendirian, (2) Untuk pelaku intimidasi, saya ingin dia tahu bahwa kalau dia melakukannya terus, dia akan berhadapan dengan saya, (3) Untuk guru/sekolah, saya ingin mereka tahu bahwa kalau sekolah/guru tidak bisa menyelesaikan masalah itu, maka saya akan ikut campur menyelesaikannya, dengan cara saya sendiri. Tentu saja pendekatan yang agak-agak bergaya ‘preman’ ini sebaiknya menjadi pilihan terakhir (sebelum lapor ke polisi, mungkin).
8. Jangan Ajari Anak Lari dari Masalah. Dalam beberapa kasus yang diceritakan teman-teman saya, anak-anak kadang merespon intimidasi yang dialaminya di sekolah dengan minta pindah sekolah. Kalau dituruti, itu sama saja dengan lari dari masalah. Jadi, sebisa mungkin jangan dituruti. Kalau ada masalah di sekolah, masalah itu yang mesti diselesaikan, bukan dengan ‘lari’ ke sekolah lain. Jangan lupa, bahwa kasus-kasus bullying itu terjadi hampir di semua sekolah.
9. Buah Simalakama? Makanlah Salah Satunya. Kadang-kadang kita dihadapkan pada dua situasi yang sama-sama buruk. Seperti kasus yang saya sampaikan tadi: (1) Anak kita menjadi korban, atau (2) Anak kita tidak mau menjadi korban dan melawannya dengan kekerasan. Saya tidak tahu bagaimana “teori”-nya, tapi ketika dihadapkan pada dua pilihan yang sama-sama buruk itu, saya memilih yang kedua, yaitu membiarkan anak saya melawan, meskipun dengan cara kekerasan.
10. Jangan Larut dalam Emosi. Ada yang bilang, “orang emosi selalu kalah”. Jadi, usahakan semaksimal mungkin untuk tidak larut dalam emosi, baik dalam bentuk “menangisi anak kita” (yang menjadi korban) maupun melabrak teman anak kita atau orang tuanya. Semua langkah yang kita ambil harus terkendali oleh akal sehat. Karena kalau tidak, masalah bisa melebar ke mana-mana. Dan kalau masalahnya sudah selesai, atau dianggap selesai, jangan diungkit-ungkit terus. Jadikan pelajaran, dan lupakan saja… Masih banyak persoalan lain yang menunggu.
Penanganan yang bisa dilakukan oleh guru:
1. Usahakan mendapat kejelasan mengenai apa yang terjadi. Tekankan bahwa kejadian tersebut bukan kesalahannya.
2. Bantu anak mengatasi ketidaknyamanan yang ia rasakan, jelaskan apa yang terjadi dan mengapa hal itu terjadi. Pastikan anda menerangkan dalam bahasa sederhana dan mudah dimengerti anak. JANGAN PERNAH MENYALAHKAN ANAK atas tindakan bullying yang ia alami.
3. Mintalah bantuan pihak ketiga (guru atau ahli profesional) untuk membantu mengembalikan anak ke kondisi normal, jika dirasakan perlu. Untuk itu bukalah mata dan hati Anda sebagai orang tua. Jangan tabu untuk mendengarkan masukan pihak lain.
4. Amati perilaku dan emosi anak anda, bahkan ketika kejadian bully yang ia alami sudah lama berlalu (ingat bahwa biasanya korban menyimpan dendam dan potensial menjadi pelaku di kemudian waktu). Bekerja samalah dengan pihak sekolah (guru). Mintalah mereka membantu dan mengamati bila ada perubahan emosi atau fisik anak anda. Waspadai perbedaan ekspresi agresi yang berbeda yang ditunjukkan anak anda di rumah dan di sekolah (ada atau tidak ada orang tua / guru / pengasuh).
5. Binalah kedekatan dengan teman-teman anak anda. Cermati cerita mereka tentang anak anda. Waspadai perubahan atau perilaku yang tidak biasa.
6. Minta bantuan pihak ke tiga (guru atau ahli profesional) untuk menangani pelaku.
Pencegahan buat anak yang menjadi korban bullying:
1. Bekali anak dengan kemampuan untuk membela dirinya sendiri, terutama ketika tidak ada orang dewasa/ guru/ orang tua yang berada di dekatnya. Ini berguna untuk pertahanan diri anak dalam segala situasi mengancam atau berbahaya, tidak saja dalam kasus bullying. Pertahanan diri ini dapat berbentuk fisik dan psikis.
Pertahanan diri Fisik : bela diri, berenang, kemampuan motorik yang baik (bersepeda, berlari), kesehatan yang prima.
Pertahanan diri Psikis : rasa percaya diri, berani, berakal sehat, kemampuan analisa sederhana, kemampuan melihat situasi (sederhana), kemampuan menyelesaikan masalah.
2. Bekali anak dengan kemampuan menghadapi beragam situasi tidak menyenangkan yang mungkin ia alami dalam kehidupannya. Untuk itu, selain kemampuan mempertahankan diri secara psikis seperti yang dijelaskan di no. 1a. Maka yang diperlukan adalah kemampuan anak untuk bertoleransi terhadap beragam kejadian. Sesekali membiarkan (namun tetap mendampingi) anak merasakan kekecewaan, akan melatih toleransi dirinya.
3. Walau anak sudah diajarkan untuk mempertahankan diri dan dibekali kemampuan agar tidak menjadi korban tindak kekerasan, tetap beritahukan anak kemana ia dapat melaporkan atau meminta pertolongan atas tindakan kekerasan yang ia alami (bukan saja bullying). Terutama tindakan yang tidak dapat ia tangani atau tindakan yang terus berlangsung walau sudah diupayakan untuk tidak terulang.
4. Upayakan anak mempunyai kemampuan sosialisasi yang baik dengan sebaya atau dengan orang yang lebih tua. Dengan banyak berteman, diharapkan anak tidak terpilih menjadi korban bullying karena :
a. Kemungkinan ia sendiri berteman dengan pelaku, tanpa sadar bahwa temannya pelaku bullying pada teman lainnya.
b. Kemungkinan pelaku enggan memilih anak sebagai korban karena si anak memiliki banyak teman yang mungkin sekali akan membela si anak.
c. Sosialisasi yang baik dengan orang yang lebih tua, guru atau pengasuh atau lainnya, akan memudahkan anak ketika ia mengadukan tindakan kekerasan yang ia alami.
Penanganan buat anak yang menjadi pelaku Bullying:
1. Segera ajak anak bicara mengenai apa yang ia lakukan. Jelaskan bahwa tindakannya merugikan diri dan orang lain. Upayakan bantuan dari tenaga ahlinya agar masalah tertangani dengan baik dan selesai dengan tuntas.
2. Cari penyebab anak melakukan hal tersebut. Penyebab menjadi penentu penanganan. Anak yang menjadi pelaku karena rasa rendah diri tentu akan ditangani secara berbeda dengan pelaku yang disebabkan oleh dendam karena pernah menjadi korban.Demikian juga bila pelaku disebabkan oleh agresifitasnya yang berbeda.
3. Posisikan diri untuk menolong anak dan bukan menghakimi anak.
Solusi lain:
Blaming the Victim
Masalah bullying adalah masalah kita semua. Pemerintah, polisi, politisi, masyarakat, guru, orang tua, dan siswa, mestinya memiliki kepedulian bersama dalam menyelesaikan masalah bullying ini. Sayangnya, tidak sedikit orang yang menganggap masalah bullying sebagai masalah pelajar itu sendiri. Karenanya, mereka selalu menganggap pelajar sebagai biang masalah. Ini merupakan sikap dan tindakan yang dikenal dengan blaming the victim (menyalahkan korban).
Blaming the victim, sebenarnya mirip dengan cerita petani yang menemukan buah anggur yang ranum di atas pohon. Tapi, pohonnya sangat tinggi. Sementara, si petani tidak bisa memanjat pohon itu. Lalu si petani mencari bambu untuk memetiknya. Tapi, dia tidak menemukan bambu panjang yang bisa mencapai buah anggur. Tak kehabisan akal, si petani melempari anggur dengan batu. Tapi tidak ada yang kena. Akhirnya, si petani meninggalkannya, sambil bergumam, ”Hmmm, anggur itu pasti rasanya masam.”
Blaming the victim, makanya perlu dihindari. Karena bukannya menyelesaikan masalah, melainkan menghindar dari masalah. Blaming the victim, merupakan wujud dari ketidakmampuan (atau ketidakmauan?) seseorang dalam menyelesaikan masalah.
Dari Masalah ke Akar Masalah
Selain blaming the victim, problem lain yang menghambat penyelesaian bullying adalah terpaku kepada masalah, tanpa menyadari penyebab yang menjadi akar masalah. Padahal, mengetahui dan menyelesaikan akar suatu masalah, merupakan salah satu teknik problem solving yang jitu. Penyelesaian suatu kasus tanpa menyelesaikan akar masalahnya akan sia-sia belaka. Kalaupun berhasil, sifatnya hanya sementara. Setelah itu, tidak lama kemudian akan muncul lagi.
Khalifah Umar bin Khattab, pernah mengajarkan teknik problem solving dengan berorientasi kepada penyelesaian akar masalah. Konon suatu hari, seseorang dilaporkan kepada Sang Khalifah karena telah mencuri. Si pelapor meminta kepada khalifah untuk menjatuhkan hukuman yang seberat-beratnya kepada si pencuri. Khalifah Umar bin Khattab tahu bahwa potong tangan merupakan sanksi bagi si pencuri. Tetapi, beliau ternyata tidak menghukumnya, setelah tahu bahwa kelaparan dan paceklik menjadi penyebab orang itu mencuri. Akhirnya si pencuri dibebaskan. Selanjutnya, sebagai khalifah, dia berusaha untuk membuat program yang mensejahterakan rakyatnya. Hasilnya, pencurian dan kriminalitas tidak lagi terdengar di kalangan rakyatnya. Karena, kelaparan dan paceklik, yang menjadi akar masalah, sudah diselesaikannya.
Apa yang dilakukan oleh Khalifah Umar bin Khattab, perlu ditiru oleh siapapun yang akan menyelesaikan masalah kekerasan di kalangan pelajar. Umar bin Khattab tidak langsung menghukum si pencuri. Melalui otaknya yang jenius serta hatinya yang tenang, beliau menangkap sinyal ketidakberesan di tengah-tengah masyarakatnya.
Demikian juga dalam menghadapi kasus bullying. Tidak cukup hanya menghukum para pelajar yang melakukannya. Sebab, banyak faktor yang dapat dihubungkan sebagai akar masalah yang menjadi penyebab terjadinya bullying. Misalnya, sistem pendidikan yang tidak membebaskan, suasana belajar yang tidak kondusif, langkanya keteladanan guru dan pelajar senior, pengaruh negatif media massa, keluarga yang broken home, serta masih banyak faktor penyebab lainnya.
Tidak heran, jika banyak orang berpendapat bahwa menyelesaikan masalah bullying tidak semudah membalikkan telapak tangan. Karena akar masalahnya tidak tunggal; banyak dan kompleks. Akan tetapi, walaupun rumit, kita perlu mencari jalan keluarnya. Allah Swt. dalam Al-Qur’an Surat Alam Nasyrah [94]: 5-6 menegaskan: ”Sesungguhnya di dalam kesulitan pasti ada kemudahan. Dan sesungguhnya di dalam kesulitan pasti ada kemudahan”.
Komunikasi, Muara Solusi
Menyelesaikan kasus bullying sesungguhnya bisa dimulai dengan cara membangun komunikasi yang terbuka antara guru, orang tua dan murid. Selama ini, komunikasi di antara mereka seringkali tidak berjalan dengan baik dan efektif. Orang tua, misalnya jarang memberi perhatian terhadap anaknya, baik di rumah atau di sekolah. Mereka, mungkin terlalu sibuk dengan urusan pekerjaan, sehingga tidak sempat (atau tidak mau menyempatkan diri) berkomunikasi dengan anak dan pihak sekolah. Sementara itu, di sekolah, guru cenderung ingin didengarkan murid. Komunikasi yang dibangun hanya satu arah. Tidak banyak guru yang memposisikan dirinya sebagai fasilitator atau mitra berbagi dengan murid. Sedangkan murid-murid lebih suka mengambil jalan sendiri, dan tidak tahu kepada siapa dia harus berkomunikasi.
Oleh karena itu, komunikasi sangat penting dalam membangun suasana yang sejuk dan damai. Komunikasi menjadi semacam muara bagi solusi atas kasus-kasus kekerasan di kalangan pelajar. Kesediaan semua pihak, terutama orang tua, guru dan murid, untuk menjalin komunikasi yang positif, terbuka, dan jujur, akan membuka jalan menuju solusi yang efektif dalam menyelesaikan kasus bullying. Pertanyaannya sekarang, seperti bunyi iklan sebuah vendor komunikasi, ”Mau?”.
Cara paling ideal untuk mencegah terjadinya bullying :
• Mengajarkan kemampuan asertif, yaitu kemampuan untuk menyampaikan pendapat atau opini pada orang lain dengan cara yang tepat. Hal ini termasuk kemampuan untuk mengatakan TIDAK atas tekanan-tekanan yang didapatkan dari teman/pelaku bullying.
• Sekolah meningkatkan kesadaran akan adanya perilaku bullying (tidak semua anak paham apakah sebenarnya bullying itu) dan bahwa sekolah memiliki dan menjalankan kebijakan anti bullying. Murid harus bisa percaya bahwa jika ia menjadi korban, ia akan mendapatkan pertolongan. Sebaliknya, jika ia menjadi pelaku, sekolah juga akan bekerjasama dengan orangtua agar bisa bersama-sama membantu mengatasi permasalahannya.
• Memutus lingkaran konflik dan mendukung sikap bekerjasama antar anggota komunitas sekolah, tidak hanya interaksi antar murid dalam level yang sama tapi juga dari level yang berbeda.
Cara mencegah supaya anak tidak menjadi pelaku bullying :
Perilaku ini sebenarnya bisa dicegah jika sekolah dan orangtua memiliki pemahaman yang menyeluruh mengenai anak. Kunci utama dari antisipasi masalah disiplin dan bullying adalah hubungan yang baik dengan anak. Hubungan yang baik akan membuat anak terbuka dan percaya bahwa setiap masalah yang dihadapinya akan bisa diatasi dan bahwa orangtua dan guru akan selalu siap membantunya. Dari sinilah anak kemudian belajar untuk menyelesaikan masalah dengan cara yang tepat.
Cara bagaimana supaya anak tidak menjadi korban bullying :
Hal ini berkaitan erat dengan konsep diri anak. Jika anak memiliki konsep diri yang baik, dalam arti mengenal betul kelebihan dan kekurangan dirinya, ia tidak akan terganggu dengan tekanan-tekanan dari teman-teman atau pelaku bullying. Biasanya jika korban atau calon korban tidak menggubris, pelaku bullying tidak akan mendekatinya lagi.
Yang penting juga adalah membekali anak dengan keterampilan asertif, sehingga bisa memberikan pesan yang tepat pada pelaku bahwa dirinya bukan pihak yang bisa dijadikan korban.
Wakil Gubernur DKI Jakarta Prijanto menawarkan konsep pembentukan karakter bagi para siswa. Terutama dalam meningkatkan rasa kepekaan terhadap sesama. "Mereka itu perlu pembentukan suatu karakter atau perilaku untuk bisa pahami orang lain, saya bilang coba anak-anak sekolah itu bawa ke tempat orang miskin dan tempat umum agar mereka tergugah bahwa ada lingkungan yang tidak sebaik mereka," kata Prijanto di Kantor Presiden, Jl Medan Merdeka Utara, Jumat (28/10/2011).
Sementara itu hasil diskusi Bullying di THE CENTER FOR THE BETTERMENT OF EDUCATION, SAVE THE CHILDREN, Jakarta 12 Januari 2010, untuk ikut memberikan beberapa solusi dan rekomendasi dalam rangka mengurangi bullying di sekolah anak anak kita, yaitu:
Pencegahan Bullying Secara Preventif :
1. Sosialisasi antibullying kepada siswa, guru, orang tua siswa, dan segenap civitas akademika di sekolah.
2. Penerapan aturan di sekolah yang mengakomodasi aspek antibullying.
3. Membuat aturan antibullying yang disepakati oleh siswa, guru, institusi sekolah dan semua civitas akademika institusi pendidikan/ sekolah.
4. Penegakan aturan/sanksi/disiplin sesuai kesepakatan institusi sekolah dan siswa, guru dan sekolah, serta orang tua dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur pemberian sanksi.
5. Membangun komunikasi dan interaksi antarcivitas akademika.
6. Meminta Depdiknas memasukkan muatan kurikulum pendidikan nasional yang sesuai dengan tahapan perkembangan kognitif anak/siswa agar tidak terjadi learning difficulties.
7. Pendidikan parenting agar orang tua memiliki pola asuh yang benar.
8. Mendesak Depdiknas memasukkan muatan kurikulum institusi pendidikan guru yang mengakomodasi antibullying.
9. Muatan media cetak, elektronik, film, dan internet tidak memuat bullying dan mendesak Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) mengawasi siaran yang memasukkan unsur bullying.
10. Perlunya kemudahan akses orang tua atau publik, lembaga terkait, ke institusi pendidikan/sekolah sebagai bentuk pengawasan untuk pencegahan dan penyelesaian bullying atau dibentuknya pos pengaduan bullying.
Solusi Ketika Telah Terjadi Bullying:
1. Pendekatan persuasive, personal, melalui teman (peer coaching).
2. Penegakan aturan/sanksi/disiplin sesuai kesepakatan institusi sekolah dan siswa, guru dan sekolah, serta orang tua dan dilaksanakan sesuai dengan prosedur pemberian sanksi, lebih ditekankan pada penegakan sanksi humanis dan pengabdian kepada masyarakat (student service).
3. Dilakukan komunikasi dan interaksi antar pihak pelaku dan korban, serta orangtua.
4. Ekspose media yang memberikan penekanan munculnya efek negatif terhadap perbuatan bullying sehingga menjadi pembelajaran bagi semua pihak agar tidak melakukan perbuatan serupa.
sumber : http://harunnihaya.blogspot.com/view/classic